GEMAERA.ID, OPINI – Di era digital, informasi begitu mudah diakses dan disebarluaskan. Namun, kemudahan ini juga membawa tantangan besar: disinformasi. Meskipun pelajar Indonesia disebut sebagai digital native, kenyataannya mereka belum tentu memiliki literasi digital yang memadai.

Survei Microsoft (2020) menunjukkan Indonesia berada di peringkat ke-29 dari 32 negara dalam kesopanan digital. Sementara itu, data APJII (2024) mengungkapkan bahwa 98,6% remaja usia 13–18 tahun aktif berinternet lebih dari 4 jam per hari. Namun, konsumsi informasi mereka belum tentu kritis.

Rentan Disinformasi di Kalangan Pelajar

Pelajar aktif di media sosial seperti TikTok dan Instagram, tapi kemampuan membedakan informasi valid masih rendah. Hanya 27% pelajar SMA bisa memverifikasi sumber berita dengan benar (Katadata, 2023). Disinformasi kini hadir dalam bentuk yang menarik dan mudah dicerna, seperti meme atau video pendek, membuatnya semakin sulit dikenali.

Mengapa Ini Bahaya?

Disinformasi dapat membentuk persepsi yang salah, memicu intoleransi, merusak semangat belajar, hingga menyesatkan secara akademis. Contoh konkret adalah saat pandemi COVID-19. Banyak pelajar yang menolak vaksin karena termakan informasi menyesatkan di media sosial.

Bahkan, disinformasi soal konflik sosial dan politik bisa berdampak lebih besar. Bukan hal asing jika kita menjumpai pelajar yang terlibat dalam perundungan digital (cyberbullying) karena termakan narasi kebencian yang belum tentu benar. Di sinilah melek digital menjadi benteng utama.

Literasi Digital: Bukan Sekadar Bisa Menggunakan Gadget 

Literasi digital mencakup kemampuan mencari dan mengevaluasi informasi, memahami konteks, etika digital, dan perlindungan data. Sayangnya, sistem pendidikan Indonesia belum sepenuhnya mengakomodasi kebutuhan ini..

Belajar dari Negara Lain

Finlandia dan Australia telah memasukkan literasi digital dalam kurikulum sejak dini, dengan dukungan kuat dari pemerintah. Sementara di Indonesia, baru 19% sekolah yang memiliki program literasi digital formal (Kemendikbudristek, 2023).

Strategi Literasi Digital yang Relevan bagi Pelajar Indonesia

• Integrasi dalam Kurikulum: Literasi digital bisa diajarkan lewat pelajaran Bahasa Indonesia, PPKn, dan IPS.

• Pelatihan Guru: Guru harus dibekali pengetahuan digital agar mampu membimbing siswa secara relevan.

• Budaya Cek Fakta: Sekolah bisa membuat program kreatif seperti “Hari Tanpa Hoaks” atau tim cek fakta pelajar.

• Peran Orang Tua: Orang tua juga perlu diedukasi agar bisa mendampingi anak secara bijak di dunia digital.

• Kolaborasi dengan Media & Platform: Media dan platform digital perlu dilibatkan untuk menciptakan konten edukatif yang menarik bagi Gen Z.

Kesimpulan: Dari Literasi Menuju Kritis dan Etis

Melek digital bukan lagi pilihan, tapi keharusan. Literasi digital harus menjadi budaya kolektif di rumah, sekolah, dan media sosial untuk menciptakan generasi muda yang kritis, etis, dan bertanggung jawab di era informasi.

Oleh: Ainun ( UIN Palopo)