GEMAERA.ID, Palopo – Fenomena konten media sosial yang memelesetkan bahasa daerah menjadi bahasa “vulgar atau kotor” demi “viral” kini semakin marak. Banyak kreator berlomba menggunakan diksi vulgar, termasuk kata-kata yang merujuk pada bagian tubuh intim, lalu membungkusnya dengan dialek daerah untuk menghadirkan kesan lucu. Praktik ini tidak hanya merendahkan martabat bahasa daerah, tetapi juga berpotensi menimbulkan stigma budaya yang merugikan penuturnya.
Dari perspektif linguistik, fenomena ini dapat dibaca sebagai bentuk reduksi dan penyempitan makna sosial bahasa. Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf melalui linguistic relativity menyatakan bahwa bahasa memengaruhi cara kita memandang realitas. Ketika bahasa daerah direduksi menjadi sekadar lelucon vulgar, persepsi publik terhadap identitas budaya tersebut ikut menyempit. Bahasa yang semestinya kaya nilai, sejarah, dan struktur malah dipahami sebagai simbol yang kurang elok.
Lebih jauh, Pierre Bourdieu menggambarkan bahasa sebagai modal simbolik,sesuatu yang memiliki nilai sosial dan menentukan posisi seseorang dalam masyarakat. Ketika bahasa daerah divisualkan sebagai bahasa “kasar”, nilai sosial tersebut menurun; penuturnya dapat dipandang tidak berpendidikan atau tidak sopan, meski realitasnya sangat berbeda. Stigma semacam ini dapat bertahan lama dan memengaruhi cara satu kelompok dipersepsikan oleh kelompok lain.
Fenomena ini juga dapat dilihat dari teori kesantunan berbahasa karya Brown dan Levinson, serta konsep dari Erving Goffman. Bahasa yang vulgar pada dasarnya merupakan face-threatening act, tindakan linguistik yang mengancam kehormatan atau citra sosial diri seseorang atau kelompok. Ketika bahasa daerah dikaitkan terus-menerus dengan kata-kata “kotor,vulgar”, tindakan itu bukan hanya menyerang individu, tetapi identitas kolektif seluruh komunitas penuturnya. Inilah yang membuat banyak tokoh budaya mengkhawatirkan “kerusakan citra bahasa daerah” di ruang digital.
Ahli sosiolinguistik William Labov menegaskan bahwa variasi bahasa selalu terkait dengan status sosial, dan cara suatu variasi diperlakukan oleh publik dapat menguatkan atau melemahkan kedudukan penuturnya. Ketika media sosial mengangkat bahasa daerah hanya dalam bentuk yang paling vulgar, masyarakat luas belajar mengaitkan dialek tersebut dengan perilaku kasar, bukan dengan seni tutur, sastra, atau nilai historis yang selama ini menghidupkannya.
Karena itu, Penulis memandang bahwa normalisasi bahasa yang tidak elok berkedok bahasa daerah adalah praktik yang harus dihentikan. Kreativitas digital tidak boleh mengorbankan martabat bahasa sebagai warisan budaya. Media sosial semestinya menjadi ruang yang memperkaya, bukan mereduksi, keberagaman linguistik Nusantara.
Para konten kreator agar lebih bertanggung jawab secara etis. Humor tetap dapat diciptakan bahkan dengan bahasa daerah tanpa harus merendahkan atau memelesetkannya menjadi ujaran “vulgar”. Mengangkat kekayaan bahasa daerah melalui cerita rakyat, kosakata unik, filosofi lokal, atau permainan kata kreatif merupakan pilihan yang lebih menghormati identitas budaya.
Bahasa daerah adalah jejak sejarah, memori kolektif, dan cermin kebijaksanaan masyarakat. Menjadikannya bahan candaan “cabul” bukan hanya tidak bijak, tetapi juga mencederai identitas. Sudah saatnya publik bersama-sama menyatakan: Stop normalisasi bahasa daerah dengan bahasa tidak baik hanya demi viral dan konten. Menghargai bahasa daerah berarti menghargai diri kita sebagai bangsa yang beradab.
Bahasa Tae’: Kekayaan Luwu yang Tak Layak Dipelesetkan
Fenomena konten media sosial yang memelesetkan bahasa daerah menjadi bahasa “vulgar” demi “viral” kini semakin menjadi. Kosakata lokal dipotong dari konteksnya, lalu dipelintir menjadi lelucon beraroma “cabul”. Bahasa Tae’ dari Luwu adalah bahasa yang kaya nilai adat dan etika, ikut menjadi sasaran komodifikasi yang merendahkan martabat budaya.
Padahal bahasa tidak pernah berdiri sendiri. Sapir–Whorf telah mengingatkan bahwa bahasa membentuk cara pikir manusia. Ketika bahasa Tae’ diekspos hanya melalui diksi kasar dan vulgar, publik belajar melihat budaya Luwu dengan kacamata sempit. Bourdieu menyebut bahasa sebagai modal simbolik; ketika modal ini direduksi menjadi gurauan vulgar, harga diri kolektif penuturnya ikut jatuh.
Distorsi ini bukan sekadar kelakar. Dalam perspektif Brown–Levinson dan Goffman, tindakan tersebut adalah face threatening act yang merusak citra sosial sebuah komunitas. Labov pun menegaskan bahwa stigma pada suatu ragam bahasa bisa berubah menjadi stigma terhadap kelompok penuturnya. Inilah bahaya terbesar dari candaan yang tampak remeh namun berdampak panjang.
Bahasa Tae’ sendiri adalah warisan Austronesia yang hidup dalam ritual adat, kesenian, musyawarah, dengan menjunjung tinggi nilai siri’ (rasa malu sebagai kontrol diri) dan mappakalebbi (rasa hormat). Nilai yang menjunjung kesantunan. Menjadikannya bahan candaan “kotor” tidak hanya keliru secara linguistik, tetapi juga melukai kebanggaan budaya Tana Luwu.
Bahasa daerah adalah wajah peradaban. Melindungi bahasa daerah berarti menjaga akar identitas. Bahasa ini mahsyur karena nilainya, bukan karena kelirunya.
Saatnya berkata tegas: Stop memelesetkan bahasa daerah demi viral.
Penulis : Dr. Fahrul Rizal, M.Pd (Dosen Linguistik STIKES Luwu Raya Palopo & Peneliti Bahasa Daerah)




