GEMAERA.ID, OPINI – Di era informasi seperti sekarang, literasi digital adalah kunci. Kita dituntut tidak hanya bisa menggunakan teknologi, tapi juga mampu menyaring informasi, berpikir kritis, dan bersikap etis di dunia maya.
Manfaatnya jelas: kita bisa lebih kritis terhadap hoaks, aktif berkontribusi di ruang digital, menjaga privasi, bahkan ikut menggerakkan ekonomi digital. Literasi digital bisa bantu mempersempit kesenjangan informasi dan menciptakan masyarakat yang lebih inklusif.
Tapi di balik semua itu, ada risiko yang sering luput dari perhatian. Terlalu banyak informasi bisa membuat kita lelah dan kehilangan fokus. Media sosial yang awalnya memperluas koneksi, justru bisa mempersempit sudut pandang lewat echo chamber . Kita hanya mendengar pendapat yang sama, dan akhirnya terjebak dalam polarisasi.
Kecanduan digital pun nyata. Scroll tanpa henti, konten tanpa batas, dan notifikasi yang terus-menerus bikin kita sulit lepas dari layar. Belum lagi penyebaran hoaks dan manipulasi digital yang makin canggih. Deepfake, disinformasi, dan konten provokatif makin sulit dikenali jika kita tidak cukup kritis.
Masalah lain adalah kesenjangan digital. Tak semua orang punya akses atau pemahaman yang sama. Ini bisa memperdalam ketimpangan sosial. Sementara itu, interaksi manusia jadi makin jarang tatap muka tergantikan oleh chat, dan empati bisa ikut menipis.
Maka, literasi digital bukan hanya soal teknis. Ini soal kesadaran, etika, dan keseimbangan. Supaya kita tak hanya cerdas di dunia digital, tapi juga tetap bijak dan berempati.
Oleh: Pasya ( Mahasiswi PAI UIN Palopo)