GEMAERA.ID, Luwu Utara – Di tengah heningnya hutan Rampi, gema alat berat telah menggantikan suara alam yang dulu menjadi denyut kehidupan masyarakat. Hutan yang selama ini menjadi pelindung dan penyambung hidup perlahan terbelah oleh roda truk tambang.
Rampi Kabupaten luwu utara kini menjadi titik awal dari sebuah narasi besar: pertarungan antara pembangunan dan keberlanjutan. Sejumlah perusahaan tambang masuk dengan membawa janji tentang pekerjaan, kemajuan, dan pendapatan daerah. Namun di balik janji itu, muncul pertanyaan yang lebih dalam: siapa yang sebenarnya diuntungkan, dan siapa yang dikorbankan?
Warga Rampi menyambut perubahan ini dengan hati yang terbagi. Ada harapan yang tumbuh, tentu saja, karena selama ini mereka merasa tertinggal dari geliat pembangunan. Tapi di sisi lain, kekhawatiran juga mengintai. Hutan yang menjadi tempat bergantung hidup, mulai dari sumber air, pangan hingga tempat berburu, kini terancam rusak permanen. Dan dampak dari kerusakan itu tak hanya berhenti di sana.
Lihatlah Malangke Kabupaten Luwu utara, daerah yang terletak jauh di hilir, menjadi bukti nyata bahwa kerusakan lingkungan tidak pernah mengenal batas wilayah. Di sana, banjir bukan lagi peristiwa musiman, melainkan ancaman rutin yang datang setiap kali hujan turun lebat. Rumah warga terendam, sawah gagal panen, dan ketakutan menjadi bagian dari keseharian. Mereka tidak menambang, tidak membuka jalan hutan, tapi mereka yang harus menerima lumpur, limbah, dan luapan air dari hulu. Ironisnya, perusahaan tambang jarang terlihat menaruh perhatian pada penderitaan ini.
Pemerintah daerah memang mencoba menyeimbangkan argumen dengan dalih pembangunan dan peningkatan PAD. Namun persoalannya bukan pada menolak investasi, melainkan pada cara investasi itu dijalankan tanpa pengawasan, tanpa keadilan, dan tanpa keberpihakan pada ekologi. Organisasi lingkungan dan akademisi telah berkali-kali mengingatkan: ketika reklamasi pascatambang diabaikan, dan hutan lindung digerus untuk jalan, maka yang ditanam bukanlah masa depan, melainkan bencana.
Ketidakadilan ekologis ini tidak boleh dianggap biasa. Sudah saatnya pemerintah lebih mendengar suara dari bawah, bukan hanya suara uang dari atas. Harus ada audit menyeluruh terhadap aktivitas tambang di Rampi dan sekitarnya. Masyarakat hilir berhak mendapatkan kompensasi atas dampak lingkungan yang mereka terima. Harus ada forum permanen yang menjembatani komunikasi hulu dan hilir, agar pembangunan tidak menjadi monopoli kepentingan segelintir pihak.
Karena pada akhirnya, seperti yang dikatakan dengan pedih oleh warga Malangke, “kami tidak anti pembangunan, tapi jangan kami yang dikorbankan.” Air yang meluap adalah pesan alam bahwa ada yang tidak beres di atas sana. Dan jika kita terus menutup telinga, maka bencana akan menjadi bahasa terakhir yang akan memaksa kita mendengarkan. Semoga belum terlambat untuk belajar dari air yang meluap, sebelum semuanya tenggelam dalam sesal.
Penulis: Achmad Fawzy Hasan