GEMAERA.ID – Fase remaja adalah masa yang penuh dinamika, di mana setiap individu mulai mencari jati diri, membangun hubungan sosial, dan mencoba memahami dunia di sekitarnya. Namun, belakangan ini, fenomena kenakalan remaja dan pergaulan bebas semakin meresahkan. Tidak hanya terjadi di kota-kota besar yang identik dengan modernisasi, tetapi juga mulai merambah ke wilayah kecil bahkan desa terpencil.
Yang menjadi pertanyaan utama adalah: apa yang membedakan remaja dulu dengan remaja sekarang? Mengapa nilai-nilai luhur yang dahulu dijunjung tinggi kini seolah memudar?
Dalam budaya Bugis, ada konsep siri’ na pacce yang menjadi landasan moral bagi masyarakat. Siri’ berarti harga diri, sedangkan pacce adalah rasa empati atau solidaritas terhadap orang lain. Kedua nilai ini mengajarkan bahwa menjaga kehormatan diri dan keluarga adalah kewajiban utama.
Remaja dahulu tumbuh dalam lingkungan yang menjunjung tinggi prinsip malebbi (kesopanan) dan mappakaraja (kehormatan). Mereka sadar bahwa setiap tindakan mereka akan mencerminkan nama baik keluarga dan komunitas. Namun, di era modern ini, pengaruh budaya global dan teknologi sering kali mengikis nilai-nilai tersebut. Siri’ yang dulu menjadi benteng moral kini mulai terabaikan karena gaya hidup bebas yang dianggap lebih “kekinian.”
Perubahan sosial juga menjadi faktor utama dalam meningkatnya kenakalan remaja. Dulu, masyarakat Bugis sangat menghormati prinsip mappatabe (saling menghormati). Interaksi sosial terjadi dalam lingkup kecil yang saling mengenal satu sama lain, sehingga kontrol sosial sangat kuat. Jika seorang remaja melanggar norma atau adat, ia akan merasa malu karena siri’-nya tercoreng di mata masyarakat.
Namun sekarang, urbanisasi dan individualisme telah melemahkan kontrol sosial tersebut. Remaja lebih sering terpapar gaya hidup bebas melalui media sosial tanpa adanya pengawasan ketat dari orang tua maupun masyarakat.
Tekanan untuk mengikuti tren global juga menjadi pemicu utama kenakalan remaja saat ini. Banyak remaja yang merasa perlu menunjukkan eksistensi diri dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma budaya atau agama. Misalnya, pergaulan bebas dan penyalahgunaan narkoba sering kali dianggap sebagai bentuk pelarian dari masalah pribadi atau tekanan sosial.
Dalam budaya Bugis, tindakan seperti ini bertentangan dengan prinsip mappakaraja, di mana seseorang harus menjaga kehormatan dirinya agar tidak mempermalukan keluarga atau komunitas.
Selain itu, kurangnya perhatian orang tua terhadap pendidikan karakter anak-anak mereka turut memperparah masalah ini. Dalam budaya Bugis, orang tua memiliki peran sebagai pabbicara (pembimbing) yang bertugas mengarahkan anak-anak agar tetap berada di jalan yang benar sesuai nilai-nilai siri’. Namun kini banyak orang tua yang terlalu sibuk dengan pekerjaan sehingga tidak lagi memberikan perhatian penuh pada perkembangan moral anak-anak mereka.
Untuk menghadapi masalah ini, kita perlu kembali kepada akar budaya kita sendiri. Nilai-nilai seperti siri’ na pacce, malebbi, dan mappatabe harus dihidupkan kembali sebagai pedoman moral bagi generasi muda. Pendidikan karakter berbasis budaya lokal sangat penting untuk membangun generasi remaja yang lebih bertanggung jawab dan beretika.
Selain itu, pengawasan dari keluarga dan masyarakat harus diperkuat agar remaja tidak terjerumus dalam pergaulan bebas.
Kenakalan remaja bukan hanya masalah individu semata. Ini adalah cerminan dari perubahan sosial dalam masyarakat kita secara keseluruhan. Kita memiliki tanggung jawab bersama untuk menjaga generasi muda agar tetap menjunjung tinggi siri’-nya serta menghormati adat dan norma budaya kita.
Jangan sampai siri’ sebagai identitas luhur kita hilang begitu saja karena pengaruh modernisasi tanpa arah yang jelas.
Penulis: Dandi Ishak